Sabtu, 29 Desember 2012

Akhir 2012

Sudah di penghujung 2012 :) (Yeay, ga jadi kiamat!)

Banyak hal yang terjadi di tahun ini. Kepercayaan yang diberikan Sang Pencipta mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Banyak hal yang dipelajari. Karakter hari demi hari dibentuk agar semakin serupa dengan-Nya. Walaupun prosesnya terasa sangat lambat dan terkadang menyakitkan, tapi senyum akhirnya merekah mengingat-ingat bagaimana cara Tuhan melakukannya.

Putri kecilnya, Masniar Elysabahtini Hutajulu, masih jauh dari yang diharapkan-Nya. Mudah-mudahan Tuhan terus sabar membentuk aku. Tuhan yang menyertai di tahun 2012, Tuhan yang sama yang akan menyertai di tahun 2013. Iya kan Tuhan?

Kembali ke Pulau, Kembali Dibentuk Sang Pencipta

         Halo, akhirnya aku punya waktu untuk meng-update blog yang sungguh sangat lama kutinggalkan karena beragam kesibukan (halah!). Seperti yang tertulis dalam judulnya, aku kembali ke Pulau Panggang. Untuk apa? Mengambil data untuk keperluan Tugas Karya Akhir (dalam pimpinan Tuhan, aku akhirnya memberanikan diri untuk membuat sesuatu yang terinspirasi oleh Orang Pulo).

     Meskipun hanya berada selama 22,5 jam di Pulau padat itu, banyak pelajaran yang aku dapatkan.Dimulai dari kekhawatiran apakah akan berangkat? Apakah akan naik kapal dari Muara Angke? Hemmm.. Aku kalang kabut banget waktu mencari cara gimana bisa nyampe Angke jam 7 pagi dengan SELAMAT! Tanya sana sini, semua menunjukkan kekhawatiran yang besar akan keselamatanku (Fiuh, ternyata banyak yang peduli heheh). "Drama" untuk memutuskan apakah berangkat dari Angke atau Marina ini bahkan membuatku setakut itu, hingga waktu nyeritain ke orang lain tak sadar mata berkaca-kaca sangkin takutnya. Aku kemudian nanya sama Tuhan, dan jawabannya diberikan saat malam sebelum berangkat. Teman-temanku mengajak makan malam bareng dan di situ mereka ngingetin untuk nggak terlalu khawatir dan bergantung pada Tuhan, "lean on God, not on your own understanding" kalau kata Tiffani. 

         Akhirnya aku memutuskan buat naik dari Marina Beach dengan pertimbangan keselamatan :) kalau dari Marina dengan Kapal Predator, cuma butuh waktu 1,5-2 jam buat nyampe di Pulau Panggang. Save my time. Nah, permasalahan muncul waktu aku lupa letak rumahnya Pak Hamdi dan lupa nama Bapak yang menampungku saat perjalanan pertama (sebenarnya sih, aku salah nyebutin nama. Harusnya Pak Rusli, eh yang kesebut malah Pak Ramlan. Ya jelas ga nemu dong -_-"). Namun berkat keakraban dan keramahan Orang Pulo, sampailah saya di rumah Pak Hamdi. YEAY!!!

          Awalnya sempat ragu apa bisa dapetin semua data yang aku butuhin dalam waktu satu setengah hari, namun (lagi dan lagi) Tuhan menunjukkan cara kerja-Nya yang luar biasa. Pengambilan data + wawancara dengan para pedagang hanya berlangsung dari pukul 11.00-18.00 (syalalalalalala). FYI, aku sempat panik karena ke kelurahan buat ngambil data dan dompet ketinggalan. Eh ternyata, Praise The Lord, gratis euyyy! Pagi harinya aku bisa pulang kembali ke Depok tercintah dengan kapal jam 7. 

         Lalu apa yang spesial dengan perjalanan kali ini?
  1. Penduduk Pulau kembali menunjukkan kalau mereka begitu baik dan ramah. Tidak ada satupun warga yang ingin aku wawancarai menolak. Mereka kooperatif banget, walau pertanyaanku setelah dipikir-pikir rada sensitif juga.
  2. Aku kembali "dipaksa" untuk hidup di luar zona nyaman. Mandi dengan air asin, udara yang lembab, dan aroma ikan asin yang luar biasa menyengat!
  3. Yang paling penting, aku belajar untuk bergantung samna Tuhan. Tampaknya, ini yang paling sulit untuk aku kerjakan deh, dalam proses menuju "Christlikeness". Kalau kata teman sekamarku, terlalu mandiri sehingga cenderung nggak ngerasa butuh siapa-siapa. Aku bersyukur banget, Tuhan menggunakan berbagai cara untuk mengajariku hal yang satu ini. Perjalanan ini salah satunya. Terbukti memang, saat aku belajar untuk bersandar pada-Nya tak ada satu hal pun yang perlu aku khawatirkan.
Banyak sebenarnya yang bisa diceritakan dari perjalanan 22,5 jam ini dan yang pasti aku terus belajar dan dipaksa belajar oleh Sang Pencipta. Terima Kasih!

Minggu, 27 Mei 2012

Sanggar Apung, Cita-Cita Besar dan Semangat Membara di Balik Pulau Kecil

Di beberapa posting-an saya sebelumnya mungkin Anda pernah melihat kata Sanggar Apung. Apa itu Sanggar Apung dan ada apa di dalamnya? Kali ini kita akan membahas lebih lanjut mengenai komunitas yang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Pulo.

Pak Hamdi, adalah orang dibalik layar berdirinya Sanggar Apung. Ia meninggalkan kemapanannya sebagai seorang pegawai sebuah BUMN di Jakarta untuk mengabdi pada pulau yang telah membesarkannya (Suatu keputusan yang mencengangkan bila kita melihat kenyamanan yang telah diperolehnya di kota). Pak Hamdi sudah menikah dan belum memiliki seorang anak. Ia memberdayakan komunitas ini tanpa mengharapkan imbalan, melainkan ia juga berjuang untuk mencari penghasilan melalui warung apung dan berdagang air mineral isi ulang. Walaupun terkesan berjuang sendiri, namun ia tetap bersemangat untuk menjangkau dan mendekati masyarakat untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka dan keluar dari lingkar kemiskinan.

 Pak Hamdi bersama hasil kerajinan miniatur kapal dan buku yang bercerita tentang Pualu Panggang

Warung Apung, salah satu sumber penghasilan Pak Hamdi


Apa saja yang dikerjakan oleh komunitas ini? Pak Hamdi memfokuskan kegiatan sanggar pada teater dan kerajinan tangan. Bekerja sama dengan Lab Teater Ciputra, Pak Hamdi mengajak anak-anak untuk belajar teater dan ini sudah dilakukan mulai dari latihan-latihan mendasar, seperti teknik pernafasan, oleh vocal, olah rasa, dsb. Walaupun belum pernah pentas, Pak Hamdi dan anggota teater tetap optimis suatu saat teater ini bisa menjadi salah satu hiburan bila ada kunjungan ke Pulau Panggang.



 Anak-anak binaan Sanggar Apung sedang belajar teater


Selain teater, kerajinan tangan masyarakat Pulau Panggang juga sangat menarik dan bepotensi menjadi oleh-oleh khas Pulau Panggang. Miniatur kapal menjadi salah satu kegiatan yang menarik untuk dipelajari. Mungkin belum dikerjakan secara serius oleh masyarakat, namun Pak Hamdi percaya mereka dapat menghasilkan miniatur-miniatur kapal yang bagus dan disukai oleh masyarakat banyak. Meskipun masyarakat setempat belum melihat usaha ini sebagai sesuatu yang menjanjikan, namun saya dan Pak Hamdi dapat melihat potensi besar dari usaha ini.


para pemuda mencari kayu sebagai bahan dasar miniatur kapal ke Pulau Karya

Kayu yang sudah dibesihkan dibentuk menjadi badan miniatur kapal

karangka dasar miniatur kapal dipernih agar semakin mirip dengan kapal asli

Hasil kerangka dasar kapal

Saya dan Fitri belajar membuat miniatur kapal

 
Selain kedua bidang yang diajar sendiri oleh Pak Hamdi, Sanggar Apung juga mengajak anak-anak untuk belajar silat dan menari. Namun kegiatan ini belum dikerjakan secara serius karena belum ada orang yang ahli dan bersedia mengajar.Walaupun demikian, bila kedua kegiatan tersebut bisa dikerjakan secara serius oleh warga, menurut saya ini sudah mampu menambah penghasilan warga dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, sehingga "tidak begitu tergantung" pada alam.

Jumat, 04 Mei 2012

Makanan Khas Pulau Panggang yang Menggoyang Lidah

Salah satu yang membuat saya betah berlama-lama di Pulau Panggang adalah makanannya yang lezat! saya yang awalnya tidak terlalu suka ikan, selama empat hari saya dipaksa untuk melupakan ayam dan mencicipi aneka masakan yang berbahan dasar ikan maupun hasil tangkapan laut. Tenyata... saya ketagihan!

Di posting-an kali ini saya akan memperlihatkan makanan khas Pulau Panggang yang sempat saya nikmati.
Here they are...

1. Bom Atom dan Kue Talam Ikan

 Bom atom adalah makanan yang di sebelah kiri, berwana merah dan terbuat dari tepung yang dicelup dalam karamel gula yang diberi warna. Makanan yang di sebelah kanan adalah kue talam ikan, terbuat dari tepung beras yang dimasak hingga menjadi seperti agar-agar atau puding dan diberi taburan abon ikan segar!


2. Kue Selingkuh
 Kue yang juga terbuat dari tepung beras ini hampir sama dengan kue talam ikan, bedanya kalau kue talam ikan disantap dengan taburan abon ikan, kue selingkuh (nama yang sangat unik!) ini disantap dengan sirup, dan biasanya orang Pulo menggunakan sirup yang berwarna pink sehingga tampilannya menjadi lebih menarik.


3. Pastel Ikan

 

 The best! Makanan favorit saya selama di Pulau Panggang.Tampilannya memang tidak beda dengan pastel pada umumnya, namun rasanya... beda banget! Ikannya sangat terasa, tidak amis, dan sedikit pedas. Melihat saya begitu antuasias dengan makanan ini, Pak Rusli dan Ibu selalu menyuguhkan pastel ikan sebagai sarapan selama saya tinggal di sana, dan tidak lupa membekali saya pastel ikan sebagai oleh-oleh. Terima kasih Pak, Ibu, saya kangen Pastel Ikannya.


4. Pucue atau Empek-empek

 Ini dia cemilan khas Orang Pulo. Dikenal dengan nama Pucue atau empek-empek (versi kita). Bahan dasarnya sama seperti empek-empek dan proses pembuatannya pun hampir sama. Yang membedakan adalah sausnya. Bila empek-empek yang biasa kita nikmati di sajikan bersama mie, potongan mentimun, dan kuah yang terbuat dari cuka, pucue biasa disajikan dengan saus kacang. Nikmat!

5. Cumi Goreng

 Apa yang spesial dari cumi goreng ini? Bukankah kita sering menyantapnya? Coba lihat ukurannya, sangat berbeda dengan yang biasa di piring kita, bukan? Ukurannya raksasa! dan rasanya pun sangat lezat karena baru ditangkap. Gurih, manis, dan tebal dagingnya. Makanan yang tidak pernah saya konsumsi selama menyandang status sebagai anak kos ;) 


6. Cumi Tumis Bumbu Hitam
Bagi saya, tampilannya sangat tidak menarik, karena kuahnya yang berwarna hitam. Namun rasanya sungguh di luar dugaan. Lezat! menurut pengakuan Pak Rusli, setiap tamu yang berkunjung (mahasiswa, peneliti) asti akan disuguhkan makanan ini dan mereka akan ketagihan. Tidak jarang ada yang kembali hanya untuk menikamti cumi yang masak dengan tintanya ini. Wow!

Sebenarnya, menurut Ibu Rusli masih banyak jenis makanan yang tidak sempat kami cicipi berhubung nelayan  sedang tidak bisa berlayar karena cuaca dan harga solar yang melambung. Namun ini saja sudah cukup membuat saya ketagihan dan kangen dengan makanannya, terutama Pastel Ikan. Tertarik mencoba? Silakan berkunjung ke pulau yang tidak hanya menawarkan makanan yang sangat memikat, namun juga kan mengajarkan kita pelajaran hidup yang tak ternilai harganya.

Mereka Ada di Provinsi Jakarta

Satu fakta yang membuat saya tercengang ketika tinggal bersama-sama dengan masyarakat Pulau Panggang adalah, MEREKA BARU MENDAPATKAN FASILITAS LISTRIK FULL 24 JAM, SEJAK JANUARI 2012. Wow! Bukankah mereka bagian dari DKI Jakarta, yang notebene adalah Ibukota Bangsa Indonesia? Kota yang selalu gemerlap oleh cahaya, jam berapapun itu?

Ada banyak lagi sebenarnya yang memperlihatkan mereka seperti anak tiri di provinsi yang menjanjikan mimpi-mimpi sehingga begitu banyak orang berlomba-lomba menjadi salah satu warganya. Satu per satu terungkap seiring dengan hari demi hari yang saya lalui di sana. 

Di hari ketiga, saya dan rekan saya, Fitri mengajak Indah (putri keluarga tempat kami menginap) dan teman-temannya, Nanda, dan Zuhro bermain-main ke Pulau Karya. Sebenarnya niat kami ke sana selain ingin bermain di Pantai pasir putih yang digunakan sebagai daerah pemakaman tersebut adalah ingin belajar bagaimana membuat kerajunan tangan dari sampah plastik. Setelah selesai bermain di Pantai, kami pun mulai proses belajar yang ternyata tidak sesederhana yang saya pikirkan.

Mereka dengan sabar mengajari kami. Walaupun tidak menghasilkan satu karyapun (karena keterbatasan bahan), namun menyenangkan belajar bersama mereka.
 Indah dan Zuhro menunjukkan cara menyangam sampah plastik

Sampah plastik yang akan kami anyam

Hasil anyaman yang nantinya akan dijahit menjadi kotak pensil ataupun casing HP

Setelah selesai belajar mengayam sampah plastik, saya dan Fitri bertanya-tanya mengenai pendidikan mereka. Di Pulau Panggang hanya ada SD dan Madrasah, bila ingin melanjutkan ke  jenjang SMP ataupun SMA harus ke Pulau Pramuka. Sungguh sedih rasanya mendengar keluhan mereka akan sekolahnya sekarang, palagi mengingat bahwa mereka sedang berada di kelas 3 SMA dan akan menghadapi UN. Hanya ada satu guru Kimia, dan itupun sedang hamil. Mereka tidak bisa mendapatkan pelajaran tambahan sebagai persiapan UN dan melanjutkan pendidikan bagi sebagian kecil yang ingin ke Perguruan Tinggi. Mereka pun mengeluhkan layanan internet yang tidak menjangkau Pulau Panggang. Hanya ada satu warnet (warung internet), itupun di pulau seberang dan sangat lemot.

Sungguh miris dan mengherankan. Mereka bagian dari provinsi yang menjadi ibukota Indonesia bukan?

Senin, 02 April 2012

Kampanye Berkedok Lomba Karaoke






Maafkan saya jika posting-an kali ini sedikit nyinyir dan seperti menuduh, tapi memang saya sangat kesal dengan keadaan pada saat kejadian ini berlangsung.

Sore itu, setelah kami selesai membantu membuat peta budaya P. Panggang, warga mulai kasak-kusuk membicarakan hajatan yang akan berlangsung pada malam harinya. Hajatan apa memang? pikir saya. Sebuah poster sederhana (tolong jangan bayangkan poster yang biasa ditempel di sekitar kita. Poster mereka hanyalah selembar karton manila yang ditulis dengan spidol hitam. Tak ada gambar, hanya tulisan!) yang ditempel di beberapa tempat strategis kemudian menjawab pertanyaan saya. Nanti malam (Sabtu malam, tgl 31 Maret) akan diadakan lomba karaoke oleh sebuah forum dari Jakarta.

Sampai saat itu, saya bersyukur masih ada orang-orang yang peduli dan mau berinisiatif untuk membantu Orang Pulo dengan memberikan hiburan rakyat di tengah kondisi yang membuat mereka sedikit tertekan. Hingga pada jam acara tersebut berlangsung, saya pun dibuat terkejut dengan pernyataan MC yang kurang lebih berbunyi kalau acara ini bukan digagas oleh partai politik manapun dan bukan merupakan sebuah kampanye politik. Saya pun heran. Mengapa dia perlu membuat pernyataan tersebut? Pertanyaan saya pun akhirnya terjawab ketika saya mendengar lagu wajib lomba karaoke ini (lomba ini mewajibkan pesertanya untuk menyanyikan satu lagu wajib dan satu lagu pilihan).

Ada apa dengan lagu wajibnya? Anda harus tahu kalau lirik lagu itu sangat memuji salah satu calon Gubernur DKI Jakarta. Liriknya menyatakan semua pencapaian sang kandidat dan apresiasi masyarakat terhadap kandidat tersebut. Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa lagu wajibnya harus itu? Memang, lagu ini  berirama dangdut sesuai dengan preferensi musik orang Pulo, namun lagu dangdut kan banyak. Kenapa harus lagu itu? Selain itu, masalahnya adalahhhhh....
  1. Katanyanya bukan kampanye, tapi lirik lagu wajibnya seperti itu. Dan yang membuat lebih fatal lagi, peserta lomba pada malam itu ada 9 tim dan artinya lagu itu akan dinyanyikan 9 kali!! Bayangkan bagaimana masyarakat yang tadinya tidak tahu lagu tersebut akan menjadi sedikit hafal karena dinyanyikan 9 kali secara maraton. Pesan yang disampaikan melalui lagu ini akan diterima masyarakat  baik secara sadar maupun tidak sadar. Apakah saya terlalu menuduh jika saya bilang ini kampanye terselubung?
  2. Menurut data dari Kabar Palembang masa kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu baru dimulai tanggal 24 Juni-7 Juli 2012. Apakah hal ini benar dilakukan sekarang?

Akhirnya saya menemukan lirik lagunya dari salah satu peserta lomba karaoke tersebut.

Judul lagu  : Pak Gubernur
Vocal        : Mandra

Pak Gubernur, maap aye nyelonong ke kantor
Aye datang cuma ingin ngelapor
kampung aye sekarang sudah kaga kotor,
kagak lagi sumpek, panas, kayak kompor

Pak Gubernur, aye sekarang bersyukur
sejak dibikinin Banjir Kanal Timur, hati aye bisa tenang
bisa enak tidur,
kagak lagi datang bajir kanal lumpur

Reff   :   Hari Minggu atau lagi libur,
           bini aye gak cuman nguplek di dapur
           aye ajak anak bini jalan-jalan
           ngelancong di taman kota nyang adem ayem
           biar kate sangu aye cuman pas-pasan,
           yang penting anak bini pada bahagia
           Pak Gubernur kalo aye ngebayangin
           Jakarta bakalan asik bukan main,
           kalo jalan-jalan tingkat udah pada jadi
          Jakarta kagak bakalan macet lagi

Pak Gubernur maaf aye kalo ngelantur
rada nyinyir kepengen sok ikut ngatur
semua ini demi Jakarta tercinta
kampung halaman tempat harapan saya

Sekarang kalo anak bini aye sakit
puskesmas udah ada di mane-mane
ongkos berobat kagak berapa duit
kagak lebih dari harga pulsa hape
biar kata duit aye cuman pas-pasan
nyang penting anak bini sehat wal-afiat

#Back to Reff

Salahkah pendapat saya kalau ini kampanye terselubung?

Minggu, 01 April 2012

Kegelisahan di Pulau Panggang


Hari ini saya harus kembali ke Depok dan meninggalkan tempat yang banyak memberikan saya pengalaman berharga tentang perjuangan untuk meningkatkan kualitas hidup orang lain. Jangan ditanya perasaan saya, tentunya sangat sedih mengingat saya sudah mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan orang Pulo. Hampir semua hal di tempat ini saya sukai mulai dari penduduknya yang ramah, alamnya yang indah, makanannya yang enak, dll. Hal yang sedikit membuat saya kurang nyaman adalah aroma pengeringan gurami atau ikan lainnya untuk dijadikan ikan asin. Baunya yang sangat menyengat membuat kepala saya berontak dan akhirnya kepala saya pusing namun untung pusingnya hanya menggangu pada hari pertama saja. Hal lain yang membuat saya “tidak betah” adalah kegelisahan melihat keadaan di Pulau Panggang. Saya begitu tertegur dengan keadaan di sini, benar-benar berjuang untuk tidak menitikkan air mata mendengar cerita, keluh kesah, harapan dari orang Pulo.

Semakin lama saya mendengar, melihat, dan merasakan hidup di sini, satu pertanyaan yang ada di benak saya semakin sering terngiang “Tuhan, apa yang bisa aku lakukan untuk orang-orang di Pulau ini?”. Pertanyaan ini terlalu menggelisahkan. Kalau sudah tahu begini kondisinya trus gimana? Apakah cukup dengan kata “aduh, kasihan..”, “astaga, kog bisa gitu?”. Memang sih itu menunjukkan empati yang dalam, namun kontribusi nyata sangat diharapkan oleh orang Pulo. Mereka butuh solusi untuk masalah perekonomian, pendidikan, kebudayaan yang mereka alami. Dan itu sangat mengusik nurani.

Mungkin ini cara Tuhan untuk menegur untuk tidak hanya tinggal di zona nyaman. Saya sangat nyaman di sini, menikmati pendidikan, menyusun TKA/ skripsi, lulus, mencari pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan, hidup layak, berkeluarga, menjadi dosen jika sudah punya cukup ilmu dan pengalaman untuk dibagikan kepada mahasiswa, dan kemudian menikmati masa tua. Di mana space untuk mengabdi kepada masyarakat? Ah, kan saya sudah berencana untuk mengabdi sebagai dosen.. Hanya itu? Itu saja sudah lebih dari cukup. Tuhan tampaknya gemes dengan pola dan perencanaan hidup saya, sehingga rencana-rencana saya tersebut harus dibenarkan dengan mengikuti program live in di Pulau Panggang.

Tinggal selama 3 hari di sana membuat saya sadar kalau hidup itu nggak cuma “gitu doang”. Pelajaran yang amat berharga Tuhan ijinkan untuk saya pelajari dengan cara yang tidak biasa.

Ketika hari ketiga saya di sana, saya berbincan-bincang dengan Pak Hamdi setelah selesai membantu teman-teman geo UI untuk membuat peta budaya Pulau Panggang. Pak Hamdi bercerita tentang keluh-kesahnya selama mengurus sanggar, bagaimana usaha yang dilakukannya sering kali ditekan oleh pemerintah setempat, bahkan dipandang sebelah mata oleh orang Pulo sendiri. Ketika beliau bercerita, di kepala saya terngiang-ngiang sebuah lagu yang membuat saya sangat berjuang untuk tidak meneteskan air mata. Lagu yang sangat indah, namun karena saya mengerti liriknya, sangat susah untuk menyanyikannya mengingat lagu adalah ungkapan hati.

Berikut lirik lagu yang membuat saya berkaca-kaca padahal siang itu, dermaga sedang riweh dengan suara soundman yang mempersiapkan pertunjukan dangdut untuk malam hari.

Bagaimana tidak Tuhan kan sayang
Pada Indonesia bangsa yang besar
Jutaan jiwa-jiwa di neg’ri ini
Yang menantikan
Kes’lamatan dari pada-Mu

Reff   :Kau terlebih rindu
          Kau terlebih rindu
          Kau terlebih rindu

         Kau terlebih rindu
         Untuk tegakkan kebenaran-Mu
         Bagi bangsaku di atas Indonesia


                  Tuhan, ini diriku
                  Inilah diriku
                 Tuhan ini doaku
                 Inilah doaku
                 Pakailah aku jadi alat-Mu
                Bagi bangsaku
               Demi kemuliaan-Mu




Benar ya Tuhan, aku rindu Tuhan pakai untuk mengerjakan pekerjaan Allah di bangsa yang Tuhan kasihi ini. Tempatkan aku di daerah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan kehendakku.

Jumat, 30 Maret 2012

Potensi-Potensi Berharga untuk Harapan akan Masa Depan


Perjalanan hari kedua ini sungguh membuka mata akan potensi pulau yang sebagian  tak terpikirkan oleh saya, namun yang menjadi impian Pak Hamdi, pendiri Sanggar Apung.


Ketika saya selesai sarapan, kami pun berangkat ke sanggar untuk menemani beliau mengurus wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta mengenai Pulau Panggang dan kebetulan yang diwawancara adalah salah satu anggota sanggar bidang karya seni yang mengalami kelumpuhan akibar menangkap ikan menggunakan kompresor. Namun sayangnya kegiatan ini tertunda hingga pukul 2 siang karena hujan yang datang tiba-tiba.

 Akhirnya di pagi hari itu kami diajak Pak Hamdi untuk melihat Pak Husni, ayah Pak Hamdi yang sedang mengerjakan pembuatan sebuah kapal pesanan saudaranya. Saya sangat kagum dengan kemahiran beliau membuat kapal. Ia mengerjakannya sendirian di usia yang tak lagi muda. Kapal yang kami lihat proses pembuatannya ini sudah hampir setengah jadi dan itu dikerjakan tanpa design. Pak Husni mengerjakannya dengan modal intuisi dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Ia belajar mengerjakan kapal ini dari seorang pembuat kapal yang lulus sarjana, dan kemudian ini mengembangkannya serta membuat inovasi agar kapal yang dihasilkan lebih baik, dan lebih murah.



Setelah berbicang-bincang dan melihat cara kerjanya Pak Husni, kami kedatangan tamu dari Lab Teater Ciputat, Mas Julung. Beliau datang untuk membuat pemetaan Pulau Panggang untuk pariwisata, baik itu dari kerajinannya, sejarahnya, dan setiap potensi pariwisata di dalamnya. Namun niat ini harus ditunda karena rekan beliau belum bisa datang karena ketinggalan kapal. Akhirnya kami berbincang-bincang dengan Pak Hamdi dan Mas Julung mengenai hal-hal yang menghambat pulau ini untuk maju. Dari perbincangan itu, saya menemukan bahwa sebenarnya banyak potensi yang bisa digali, namun ada saja faktor yang menghalanginya. Faktor-faktor tersebut antara lain : dukungan dari pihak pemerintahan yang sangat minim, pihak-pihak yang iri dengan pencapaian Pak Hamdi, dan masyarakat yang pragmatis.

Padahal ada banyak hal berharga yang belum dikembangkan di desa ini. Ketika pulau-pulau lain mulai sudah mencari spesalisasi pariwisatanya, pulau ini masih berjuang untuk mancari potensinya. Salah satu potensi yang sangat besar menurut saya adalah kerajinan miniatur kapal yang sedang dirintis oleh Pak Hamdi, Pak Michael, Pak Rahmat, dkk . Miniatur kapal ini terbuat dari batang korek api bekas. Dengan teliti dan ketekunan yang super mereka mengerjakan satu demi satu bagian kapal, mulai dari badan kapal hingga layarnya. Sungguh teliti dan sabar sekali. Saya dan rekan saya, Fithrya pun tertarik mencoba membantu merangkai korek api tersebut. Namun yang terjadi kemudian sudah bisa ditebak, karena belum terbiasa, tangan saya kesakitan ketika membentuk korek api, dan saya pun menyerah.
Hasil karya miniatur kapal sangat bagus dan sangat berpotensi untuk dijadikan bisnis dan dapat pula dijadikan oleh-oleh khas dari Pulau Panggang. Di samping memanfaatkan koreka api bekas untuk kerajinan tangan, sampah-sampah yang banyak bertaburan di tepi pantai juga berpotensi untuk diolah dan menghasilkan barang yang nilai jualnya jauh lebih tinggi. Jenis sampah yang dari segi jumlah cukup banyak dan berpotensi untuk didaur ulang adalah sterofom, botol kaca, sampah plastik. Dan masih banyak lainnya. Jadi selain menambah nilai guna sampah, pemanfaatan sampah ini juga membantu pembersihan pantai yang memang tidak memiliki petugas khusus.






Selain kegiatan karya seni, kegiatan budidaya hasil laut juga merupakan potensi yang harus dikembangkan secara serius mengingat kondisi alam yang kurang bersahabat untuk melaut. Budidaya yang bisa dikembangkan antara lain budidaya ikan beronang (karena selama ini yang sering dibudidaya adalah ikan kerapu), budidaya lumut (sebagai pakan alami ikan). Kedu budidaya ini akan menghasilkan tambak ikan semi alami, di mana ikan yang dibudaya adalah ikan beronang dan pakan yang diberikan adalah pakan alami ikan tersebut, yaitu lumut. Perpaduan keduanya akan menghasilkan ikan beronang yang sehat, karena jika biasanya budidaya tambak biasa menggunakan pellet sebagai pakan, ikan yang dihasilkan mudah sakit dan tidak tahan banting.

Masih banyak lagi potensi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian penduduk Pulau Panggang, namun jika potensi-potensi di atas saja secara serius dikerjakan maka taraf hidup masyarakat sudah pasti akan meningkat. Potensi di atas butuh penanganan serius, siapakah yang juga serius mau membantu orang Pulo ini?

Kamis, 29 Maret 2012

BBM Naik, Nelayan Panik

Ketika saya diberitahu bahwa terpilih untuk mengikuti program live in di salah satu pulau yang berada pada Kepulauan Seribu, yakni Pulau Panggang, dalam angan saya sudah terpatri gambaran sebuah pulau. Pohon kelapa yang menghiasi pinggir Pulau, jumlah penduduk dan rumah yang minim, serta pemandangan yang indah. Namun tidak semua angan saya itu benar adanya. Pulau yang saya kunjungi untuk terjun dan belajar langsung dari msayarakatnya adalah Pulau dengan penduduk terpadat di Kepulauan Seribu, Pulau Panggang. Di pulau ini hidup lebih dari 5000 jiwa dengan luas pulau yang tampaknya sudah lagi seimbang dengan jumlah penduduknya. Pada umumnya mata pencaharian mereka adalah nelayan dan untuk penghasilan tambahan mereka juga melakukan budidaya  ikan laut.

Fakta mengejutkan saya temukan ketika berbicang-bincang dengan tuan rumah tempat saya menginap. SUDAH DUA BULAN LEBIH NELAYAN TIDAK MELAUT! Karena setahu saya sumber mata pencaharian mereka adalah dari laut, maka yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, dari mana mereka memperoleh uang untuk membiayai kebutuhan mereka selama dua bulan belakangan ini? Jawaban yang cukup menarik yang saya dapatkan adalah pinjaman (hutang) dan hasil dagangan isteri mereka. Menurut Pak Hamdi, salah satu penduduk Pulau Panggang, suami tidak lagi menjadi penopang penghasilan keluarga. Peran isteri di sini semakin besar seiring dengan ketidakmampuan nelayan menjangkau solar dan cuaca ekstrim yang membuat mereka berpikir ulang melaut.

Hal ini sangat membuat saya miris dan berpikir ulang mengenai sikap saya akan kenaikan harga BBM. Sebelumnya saya setuju dengan kenaikan BBM (tetapi dengan syarat APBN yang sejatinya dianggarkan ke subsidi BBM dialihkan ke perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat), namun ketika melihat kenyataan di sini saya pun sedikit ragu, apakah ini memang keputusan yang tepat? Apakah memang sekarang waktunya? Dengan harga solar Rp 7000 per liter saja mereka sudah kesulitan untuk membelinya, jika dinaikkan lagi apa jadinya nasib mereka? Berhenti melaut selamanya?

Minggu, 25 Maret 2012

Harta itu Bernama Budaya

Post kali ini terinspirasi dari sebuah akun Social Media milik senior saya saat SMA dulu (yang baru saya tahu identitasnya setelah saya tingkat 2 di Perguruan Tinggi hahah), Frans Mateus Situmorang.

Abang yang menjadi ketua UKSU (unit Kesenian Sumatera Utara) ITB ini melakukan perjalanan ke Samosir, dan berikut merupakan hasil foto-foto beliau yang menunjukkan betapa kaya dan berharganya budaya untuk dilestarikan. Di akun Facebook-nya, album untuk foto-foto ini diberi judul "Harta itu Bernama Budaya" (Judul yang sangat baik dan menunjukkan bakat menulis pemiliknya).


 

Jumat, 23 Maret 2012

Kembalinya Kesadaran akan Identitas "Kebatakan"

Satu tahun lalu, berdasarkan peraturan akademik di kampus tempat saya menuntut ilmu sekarang, saya diwajibkan untuk mengambil satu mata kuliah, yaitu Menejemen Ajang Khusus. Mata kuliah ini mewajibkan mahasiswanya untuk membuat sebuah pameran yang bertemakan kebudayaan Indonesia dan harus dikerjakan secara berkelompok. Saya dan teman-teman sayapun mulai berdiskusi untuk menentukan suku mana yang kebudayaannya akan kami eksplore. Kelompok saya terdiri dari dua orang yang beretnis Chinese, satu orang bersuku Jawa dan dua orang yang bersuku Batak.

Setelah perdebatan dan pertimbangan aksesibilitas, kami akhirnya memutuskan untuk memilih kebudayaan suku Batak, khususnya Batak Toba untuk ditampilkan dalam pameran kami nantinya. Kesulitan demi kesulitan pun mulai menunjukkan diri ketika kami mulai mempersiapkan materi yang akan kami "pamerkan" nantinya. Kesulitan mencari lagu-lagu Batak, instrumen alat musik khas Batak, baju adat, Ulos dalam jumlah yang banyak, dan yang paling menyita pikiran adalah dekorasi stand yang tepat agar setiap pengunjung yang datang dapat merasakan atmosfir Batak. Bermula dari sebuah kewajiban untuk mendapatkan kelulusan inilah saya mulai belajar banyak tentang suku yang sering saya pandang dengan sebelah mata.

Saya adalah Batak galur murni, Ayah saya seutuhnya Batak dan begitupun dengan Ibu saya. Namun, lebih dari dua puluh tahun saya dibesarkan dalam suku ini, pengenalan saya begitu minim. Saya mengerti bahasa Batak karena Opung (red : Nenek) saya selalu menggunakan bahasa Batak kepada saya ketika Beliau masih hidup, Ayah dan Ibu saya juga sering menggunakannya dalam percakapan mereka ketika di rumah. Masalahnya, saya hanya sebatas mengerti! Sangat sulit bagi saya untuk menggunakannya dalam percakapan, jika mengutip kata Ibu saya "Kamu tuh kalau ngomong pake bahasa Batak, kayak orang Indonesia yang pertama kali belajar Bahasa Inggris! Logatnya aneh." #Jleb.

Kembali ke pameran, saya pun mulai mencari setiap "bahan" yang saya butuhkan untuk pameran. Saya butuh  lagu, dan dengan bantuan PKK saya, puluhan bahkan ratusan lagu Batak saya miliki dan karena tidak semuanya yang akan diperdengarkan saat pameran, akhirnya saya mulai mendengar satu persatu lagunya untuk kemudian diseleksi. Percaya atau tidak, saya merinding ketika mendengar salah satu musik instrumen dan tiba-tiba merasa begitu rindu dengan kampung halaman saya, Laguboti. Pencarian Ulos, alat musik, makanan-makanan khas, dan perintilan lainnya membuat saya menyadari kalau Batak begitu kaya akan warisan kebudayaan. Saya menjadi malu akan diri sendiri, karena tidak menghargai budaya yang telah saya "anut" selama puluhan tahun. Saya begitu mengagumi kebudayaan orang lain, dan menganggap budaya saya aneh, norak, ketinggalan zaman. Begitu menyedihkannya saya!

"Keterpaksaan" membuat saya sadar akan identitas saya sebagai orang Batak. Jika dahulu saya malu, maka sekarang dengan bangga saya mengatakan "Saya Orang Batak!"


Berikut merupakan foto-foto pameran "Budaya Nusantara" yang menjadi titik tolak perubahan paradigma saya akan kebudayaan Batak.






Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantu berdirinya "Stand Batak Toba". Terima kasih untuk pinjaman Ulosnya, terima kasih untuk pinjaman alat musiknya, terima kasih sudah bersedia memberikan informasi berharga tentang kebudayaan Batak. (Tuhan memberkati kalian semua :> )