Jumat, 30 Maret 2012

Potensi-Potensi Berharga untuk Harapan akan Masa Depan


Perjalanan hari kedua ini sungguh membuka mata akan potensi pulau yang sebagian  tak terpikirkan oleh saya, namun yang menjadi impian Pak Hamdi, pendiri Sanggar Apung.


Ketika saya selesai sarapan, kami pun berangkat ke sanggar untuk menemani beliau mengurus wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta mengenai Pulau Panggang dan kebetulan yang diwawancara adalah salah satu anggota sanggar bidang karya seni yang mengalami kelumpuhan akibar menangkap ikan menggunakan kompresor. Namun sayangnya kegiatan ini tertunda hingga pukul 2 siang karena hujan yang datang tiba-tiba.

 Akhirnya di pagi hari itu kami diajak Pak Hamdi untuk melihat Pak Husni, ayah Pak Hamdi yang sedang mengerjakan pembuatan sebuah kapal pesanan saudaranya. Saya sangat kagum dengan kemahiran beliau membuat kapal. Ia mengerjakannya sendirian di usia yang tak lagi muda. Kapal yang kami lihat proses pembuatannya ini sudah hampir setengah jadi dan itu dikerjakan tanpa design. Pak Husni mengerjakannya dengan modal intuisi dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Ia belajar mengerjakan kapal ini dari seorang pembuat kapal yang lulus sarjana, dan kemudian ini mengembangkannya serta membuat inovasi agar kapal yang dihasilkan lebih baik, dan lebih murah.



Setelah berbicang-bincang dan melihat cara kerjanya Pak Husni, kami kedatangan tamu dari Lab Teater Ciputat, Mas Julung. Beliau datang untuk membuat pemetaan Pulau Panggang untuk pariwisata, baik itu dari kerajinannya, sejarahnya, dan setiap potensi pariwisata di dalamnya. Namun niat ini harus ditunda karena rekan beliau belum bisa datang karena ketinggalan kapal. Akhirnya kami berbincang-bincang dengan Pak Hamdi dan Mas Julung mengenai hal-hal yang menghambat pulau ini untuk maju. Dari perbincangan itu, saya menemukan bahwa sebenarnya banyak potensi yang bisa digali, namun ada saja faktor yang menghalanginya. Faktor-faktor tersebut antara lain : dukungan dari pihak pemerintahan yang sangat minim, pihak-pihak yang iri dengan pencapaian Pak Hamdi, dan masyarakat yang pragmatis.

Padahal ada banyak hal berharga yang belum dikembangkan di desa ini. Ketika pulau-pulau lain mulai sudah mencari spesalisasi pariwisatanya, pulau ini masih berjuang untuk mancari potensinya. Salah satu potensi yang sangat besar menurut saya adalah kerajinan miniatur kapal yang sedang dirintis oleh Pak Hamdi, Pak Michael, Pak Rahmat, dkk . Miniatur kapal ini terbuat dari batang korek api bekas. Dengan teliti dan ketekunan yang super mereka mengerjakan satu demi satu bagian kapal, mulai dari badan kapal hingga layarnya. Sungguh teliti dan sabar sekali. Saya dan rekan saya, Fithrya pun tertarik mencoba membantu merangkai korek api tersebut. Namun yang terjadi kemudian sudah bisa ditebak, karena belum terbiasa, tangan saya kesakitan ketika membentuk korek api, dan saya pun menyerah.
Hasil karya miniatur kapal sangat bagus dan sangat berpotensi untuk dijadikan bisnis dan dapat pula dijadikan oleh-oleh khas dari Pulau Panggang. Di samping memanfaatkan koreka api bekas untuk kerajinan tangan, sampah-sampah yang banyak bertaburan di tepi pantai juga berpotensi untuk diolah dan menghasilkan barang yang nilai jualnya jauh lebih tinggi. Jenis sampah yang dari segi jumlah cukup banyak dan berpotensi untuk didaur ulang adalah sterofom, botol kaca, sampah plastik. Dan masih banyak lainnya. Jadi selain menambah nilai guna sampah, pemanfaatan sampah ini juga membantu pembersihan pantai yang memang tidak memiliki petugas khusus.






Selain kegiatan karya seni, kegiatan budidaya hasil laut juga merupakan potensi yang harus dikembangkan secara serius mengingat kondisi alam yang kurang bersahabat untuk melaut. Budidaya yang bisa dikembangkan antara lain budidaya ikan beronang (karena selama ini yang sering dibudidaya adalah ikan kerapu), budidaya lumut (sebagai pakan alami ikan). Kedu budidaya ini akan menghasilkan tambak ikan semi alami, di mana ikan yang dibudaya adalah ikan beronang dan pakan yang diberikan adalah pakan alami ikan tersebut, yaitu lumut. Perpaduan keduanya akan menghasilkan ikan beronang yang sehat, karena jika biasanya budidaya tambak biasa menggunakan pellet sebagai pakan, ikan yang dihasilkan mudah sakit dan tidak tahan banting.

Masih banyak lagi potensi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian penduduk Pulau Panggang, namun jika potensi-potensi di atas saja secara serius dikerjakan maka taraf hidup masyarakat sudah pasti akan meningkat. Potensi di atas butuh penanganan serius, siapakah yang juga serius mau membantu orang Pulo ini?

Kamis, 29 Maret 2012

BBM Naik, Nelayan Panik

Ketika saya diberitahu bahwa terpilih untuk mengikuti program live in di salah satu pulau yang berada pada Kepulauan Seribu, yakni Pulau Panggang, dalam angan saya sudah terpatri gambaran sebuah pulau. Pohon kelapa yang menghiasi pinggir Pulau, jumlah penduduk dan rumah yang minim, serta pemandangan yang indah. Namun tidak semua angan saya itu benar adanya. Pulau yang saya kunjungi untuk terjun dan belajar langsung dari msayarakatnya adalah Pulau dengan penduduk terpadat di Kepulauan Seribu, Pulau Panggang. Di pulau ini hidup lebih dari 5000 jiwa dengan luas pulau yang tampaknya sudah lagi seimbang dengan jumlah penduduknya. Pada umumnya mata pencaharian mereka adalah nelayan dan untuk penghasilan tambahan mereka juga melakukan budidaya  ikan laut.

Fakta mengejutkan saya temukan ketika berbicang-bincang dengan tuan rumah tempat saya menginap. SUDAH DUA BULAN LEBIH NELAYAN TIDAK MELAUT! Karena setahu saya sumber mata pencaharian mereka adalah dari laut, maka yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, dari mana mereka memperoleh uang untuk membiayai kebutuhan mereka selama dua bulan belakangan ini? Jawaban yang cukup menarik yang saya dapatkan adalah pinjaman (hutang) dan hasil dagangan isteri mereka. Menurut Pak Hamdi, salah satu penduduk Pulau Panggang, suami tidak lagi menjadi penopang penghasilan keluarga. Peran isteri di sini semakin besar seiring dengan ketidakmampuan nelayan menjangkau solar dan cuaca ekstrim yang membuat mereka berpikir ulang melaut.

Hal ini sangat membuat saya miris dan berpikir ulang mengenai sikap saya akan kenaikan harga BBM. Sebelumnya saya setuju dengan kenaikan BBM (tetapi dengan syarat APBN yang sejatinya dianggarkan ke subsidi BBM dialihkan ke perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat), namun ketika melihat kenyataan di sini saya pun sedikit ragu, apakah ini memang keputusan yang tepat? Apakah memang sekarang waktunya? Dengan harga solar Rp 7000 per liter saja mereka sudah kesulitan untuk membelinya, jika dinaikkan lagi apa jadinya nasib mereka? Berhenti melaut selamanya?

Minggu, 25 Maret 2012

Harta itu Bernama Budaya

Post kali ini terinspirasi dari sebuah akun Social Media milik senior saya saat SMA dulu (yang baru saya tahu identitasnya setelah saya tingkat 2 di Perguruan Tinggi hahah), Frans Mateus Situmorang.

Abang yang menjadi ketua UKSU (unit Kesenian Sumatera Utara) ITB ini melakukan perjalanan ke Samosir, dan berikut merupakan hasil foto-foto beliau yang menunjukkan betapa kaya dan berharganya budaya untuk dilestarikan. Di akun Facebook-nya, album untuk foto-foto ini diberi judul "Harta itu Bernama Budaya" (Judul yang sangat baik dan menunjukkan bakat menulis pemiliknya).


 

Jumat, 23 Maret 2012

Kembalinya Kesadaran akan Identitas "Kebatakan"

Satu tahun lalu, berdasarkan peraturan akademik di kampus tempat saya menuntut ilmu sekarang, saya diwajibkan untuk mengambil satu mata kuliah, yaitu Menejemen Ajang Khusus. Mata kuliah ini mewajibkan mahasiswanya untuk membuat sebuah pameran yang bertemakan kebudayaan Indonesia dan harus dikerjakan secara berkelompok. Saya dan teman-teman sayapun mulai berdiskusi untuk menentukan suku mana yang kebudayaannya akan kami eksplore. Kelompok saya terdiri dari dua orang yang beretnis Chinese, satu orang bersuku Jawa dan dua orang yang bersuku Batak.

Setelah perdebatan dan pertimbangan aksesibilitas, kami akhirnya memutuskan untuk memilih kebudayaan suku Batak, khususnya Batak Toba untuk ditampilkan dalam pameran kami nantinya. Kesulitan demi kesulitan pun mulai menunjukkan diri ketika kami mulai mempersiapkan materi yang akan kami "pamerkan" nantinya. Kesulitan mencari lagu-lagu Batak, instrumen alat musik khas Batak, baju adat, Ulos dalam jumlah yang banyak, dan yang paling menyita pikiran adalah dekorasi stand yang tepat agar setiap pengunjung yang datang dapat merasakan atmosfir Batak. Bermula dari sebuah kewajiban untuk mendapatkan kelulusan inilah saya mulai belajar banyak tentang suku yang sering saya pandang dengan sebelah mata.

Saya adalah Batak galur murni, Ayah saya seutuhnya Batak dan begitupun dengan Ibu saya. Namun, lebih dari dua puluh tahun saya dibesarkan dalam suku ini, pengenalan saya begitu minim. Saya mengerti bahasa Batak karena Opung (red : Nenek) saya selalu menggunakan bahasa Batak kepada saya ketika Beliau masih hidup, Ayah dan Ibu saya juga sering menggunakannya dalam percakapan mereka ketika di rumah. Masalahnya, saya hanya sebatas mengerti! Sangat sulit bagi saya untuk menggunakannya dalam percakapan, jika mengutip kata Ibu saya "Kamu tuh kalau ngomong pake bahasa Batak, kayak orang Indonesia yang pertama kali belajar Bahasa Inggris! Logatnya aneh." #Jleb.

Kembali ke pameran, saya pun mulai mencari setiap "bahan" yang saya butuhkan untuk pameran. Saya butuh  lagu, dan dengan bantuan PKK saya, puluhan bahkan ratusan lagu Batak saya miliki dan karena tidak semuanya yang akan diperdengarkan saat pameran, akhirnya saya mulai mendengar satu persatu lagunya untuk kemudian diseleksi. Percaya atau tidak, saya merinding ketika mendengar salah satu musik instrumen dan tiba-tiba merasa begitu rindu dengan kampung halaman saya, Laguboti. Pencarian Ulos, alat musik, makanan-makanan khas, dan perintilan lainnya membuat saya menyadari kalau Batak begitu kaya akan warisan kebudayaan. Saya menjadi malu akan diri sendiri, karena tidak menghargai budaya yang telah saya "anut" selama puluhan tahun. Saya begitu mengagumi kebudayaan orang lain, dan menganggap budaya saya aneh, norak, ketinggalan zaman. Begitu menyedihkannya saya!

"Keterpaksaan" membuat saya sadar akan identitas saya sebagai orang Batak. Jika dahulu saya malu, maka sekarang dengan bangga saya mengatakan "Saya Orang Batak!"


Berikut merupakan foto-foto pameran "Budaya Nusantara" yang menjadi titik tolak perubahan paradigma saya akan kebudayaan Batak.






Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantu berdirinya "Stand Batak Toba". Terima kasih untuk pinjaman Ulosnya, terima kasih untuk pinjaman alat musiknya, terima kasih sudah bersedia memberikan informasi berharga tentang kebudayaan Batak. (Tuhan memberkati kalian semua :> )