Jumat, 23 Maret 2012

Kembalinya Kesadaran akan Identitas "Kebatakan"

Satu tahun lalu, berdasarkan peraturan akademik di kampus tempat saya menuntut ilmu sekarang, saya diwajibkan untuk mengambil satu mata kuliah, yaitu Menejemen Ajang Khusus. Mata kuliah ini mewajibkan mahasiswanya untuk membuat sebuah pameran yang bertemakan kebudayaan Indonesia dan harus dikerjakan secara berkelompok. Saya dan teman-teman sayapun mulai berdiskusi untuk menentukan suku mana yang kebudayaannya akan kami eksplore. Kelompok saya terdiri dari dua orang yang beretnis Chinese, satu orang bersuku Jawa dan dua orang yang bersuku Batak.

Setelah perdebatan dan pertimbangan aksesibilitas, kami akhirnya memutuskan untuk memilih kebudayaan suku Batak, khususnya Batak Toba untuk ditampilkan dalam pameran kami nantinya. Kesulitan demi kesulitan pun mulai menunjukkan diri ketika kami mulai mempersiapkan materi yang akan kami "pamerkan" nantinya. Kesulitan mencari lagu-lagu Batak, instrumen alat musik khas Batak, baju adat, Ulos dalam jumlah yang banyak, dan yang paling menyita pikiran adalah dekorasi stand yang tepat agar setiap pengunjung yang datang dapat merasakan atmosfir Batak. Bermula dari sebuah kewajiban untuk mendapatkan kelulusan inilah saya mulai belajar banyak tentang suku yang sering saya pandang dengan sebelah mata.

Saya adalah Batak galur murni, Ayah saya seutuhnya Batak dan begitupun dengan Ibu saya. Namun, lebih dari dua puluh tahun saya dibesarkan dalam suku ini, pengenalan saya begitu minim. Saya mengerti bahasa Batak karena Opung (red : Nenek) saya selalu menggunakan bahasa Batak kepada saya ketika Beliau masih hidup, Ayah dan Ibu saya juga sering menggunakannya dalam percakapan mereka ketika di rumah. Masalahnya, saya hanya sebatas mengerti! Sangat sulit bagi saya untuk menggunakannya dalam percakapan, jika mengutip kata Ibu saya "Kamu tuh kalau ngomong pake bahasa Batak, kayak orang Indonesia yang pertama kali belajar Bahasa Inggris! Logatnya aneh." #Jleb.

Kembali ke pameran, saya pun mulai mencari setiap "bahan" yang saya butuhkan untuk pameran. Saya butuh  lagu, dan dengan bantuan PKK saya, puluhan bahkan ratusan lagu Batak saya miliki dan karena tidak semuanya yang akan diperdengarkan saat pameran, akhirnya saya mulai mendengar satu persatu lagunya untuk kemudian diseleksi. Percaya atau tidak, saya merinding ketika mendengar salah satu musik instrumen dan tiba-tiba merasa begitu rindu dengan kampung halaman saya, Laguboti. Pencarian Ulos, alat musik, makanan-makanan khas, dan perintilan lainnya membuat saya menyadari kalau Batak begitu kaya akan warisan kebudayaan. Saya menjadi malu akan diri sendiri, karena tidak menghargai budaya yang telah saya "anut" selama puluhan tahun. Saya begitu mengagumi kebudayaan orang lain, dan menganggap budaya saya aneh, norak, ketinggalan zaman. Begitu menyedihkannya saya!

"Keterpaksaan" membuat saya sadar akan identitas saya sebagai orang Batak. Jika dahulu saya malu, maka sekarang dengan bangga saya mengatakan "Saya Orang Batak!"


Berikut merupakan foto-foto pameran "Budaya Nusantara" yang menjadi titik tolak perubahan paradigma saya akan kebudayaan Batak.






Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantu berdirinya "Stand Batak Toba". Terima kasih untuk pinjaman Ulosnya, terima kasih untuk pinjaman alat musiknya, terima kasih sudah bersedia memberikan informasi berharga tentang kebudayaan Batak. (Tuhan memberkati kalian semua :> )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar