Kemarin, aku negur adik laki-lakiku satu-satunya. Campur aduk
antara khawatir, merasa diacuhkan, ataupun cemburu dengan kesibukan adikku ini.
Melalui salah satu platform telekomunikasi, dengan gayaku, malam 10 Mei aku ngomel
kenapa nggak balas pesan kakaknya ini.
Nggak direspon.
Keesokan paginya, akhirnya dibalas. 04.30.
Di tengah padatnya lab, skripsi, organisasi, dia udah bangun
sepagi itu? “lagi baca-baca kak”, katanya. Nggak sadar mata berkaca-kaca sepanjang
perjalanan menuju stasiun kereta. Salut banget dengan semangat juang dan
belajarnya. Tapi bukan itu poinnya. Aku tahu benar kebiasaan itu. Secapek
apapun belajar di malam hari, pagi-pagi adalah waktu paling efektif untuk
belajar. “Lebih cepat masuk ke otak” kata Mama.
Percakapan pagi itu sukses mengulang banyak kenangan bareng
Mama. 8 bulan tentunya bukan waktu yang cukup membiasakan diri tanpa telepon,
cerita (yang minimal diulang 3x), dan doa yang tulus dari cinta pertamaku. “Tuhan
tahu yang terbaik untuk Mama. Sebesar apapun kamu mengasihi-nya, Ia jauh lebih
mengasihi Mama” Hal ini sungguh nyata walaupun tentunya berat. Membiarkan Ia
lebih lama menanggung sakit justru menunjukkan keegoisanku. Dengan
kepergiannya, Mama nggak perlu lagi berpura-pura tersenyum setiap kali
menelepon, menahan sakit setiap kali
kemo, atau berusaha tegar dan berani dalam kekhawatirannya meninggalkan 6 orang
anak yang masih sangat butuh sosok Ibu. Sakitnya sudah diangkat. Tak perlu
meminum obat, yang di satu sisi sedikit demi sedikit membunuh sel kanker namun
di sisi lain membunuh sistem saraf lainnya. Mama benar-benar bebas dari
penyakitnya.
“Ada rencana yang indah yang sedang Tuhan kerjakan dalam setiap peristiwa yang kita alami”. Menguatkan orang lain dengan kebenaran Firman ini tidak semudah ketika kita meyakinkan diri dengan kebenaran Firman yang sama. Adik-adik masih remaja, sangat butuh bimbingan seorang Ibu. Bapak yang pendiam bahkan sangat jarang berkomunikasi dengan kami putera-puterinya. Bapak yang merelakan pekerjaannya agar punya waktu untuk mengurus Mama selama sakit. Mama dipanggil Tuhan. Bagian indahnya sungguh sulit dilihat. Sungguh sulit.

Aku dan adik-adik masih menunggu rencana indah Tuhan. Aku
terus berdoa, agar tetap yakin kalau Tuhan memang menyediakan rancangan yang
indah bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Iya kan, Tuhan? Oh iya,
kemarin hari Ibu, tolong sampaikan terima kasih dan maaf sama Mama ya Tuhan.
***